Siang itu, matahari tak begitu terik. Tapi cukup sulses membuat keringat mengucur deras. Aku menantinya dalam cemas, di ruang tunggu bagian depan kantornya. Dengan sepaket box lunch berwarna hitam. Lima menit berlalu, ia datang dengan seragam kantornya berwarna biru muda. Seperti biasa, ia terlihat menawan. Senyumnya yang begitu manis mengembang di bibir tipisnya, bertambah dengan lesung pipi yang tak begitu dalam. Ia menyapaku. Menanyakan kabarku. Sesekali mengusap lembut pipiku, dengan tatapan sendunya yang selalu berhasil membuatku tersipu. Tak lama setelah menghabiskan isi kotak makan yang kubawa, ia kembali masuk ke dalam kantornya. Jam kerjanya masih berlanjut hingga empat jam kedepan.
Aku kembali mengingat beberapa hal manis yang telah aku lalui dengannya. Senyum, selalu berhasil mengembang dengan begitu lebar di bibirku, saat mengingat semua tentangnya. Ia selalu bersikap manis, memperlakukanku dengan begitu baik. Rasa itu terus saja tumbuh dengan begitu liar, tanpa bisa aku kendalikan.
Aku ingat, bagaimana ia dengan begitu sabar menyuapiku saat aku sakit. Menemaniku ke kafe di luar kota, hanya karna aku merindukan coklat panas kesukaanku. Mengirimiku eskrim dan coklat saat suasana hatiku sedang gundah. Ia bahkan tiba-tiba mengetuk pintu kamarku saat mendengar suara tangisku di telepon.
Aku tak pernah menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benakku. Kenapa ia selalu memperlakukanku dengan begitu baik? Kenapa ia selalu ada saat aku membutuhkan sandaran? Kenapa ia tak pernah membiarkanku sendirian menghadapi hal-hal buruk dalam hidupku? Adakah aku di hatinya, seperti ia yang slalu ada dan menjadi satu-satunya yang ada dalam hatiku? Aku bahkan tak bisa membaca makna dari tatapan hangatnya.
Menit-menit berlalu dengan begitu lambat. Tapi tetap saja. Aku setia menantinya. Berjalan-jalan, mengelilingi taman dekat kantornya. Menikmati udara sejuk, dengan sedikit keramaian. Mataku kemudian tertuju pada seorang perempuan yang duduk bersama teman-temannya. Mereka tertawa. Sembari menikmati jajanan yang menumpuk di depan mereka. Perempuan itu, cantik dengan hijab menutupi kepalanya. Bertambah manis dengan tawa riuh yang menghiasi bibirnya.
Wajahnya, senyumnya, tawanya. Aku seakan tak asing dengan segala yang ada dalam diri perempuan itu. Ia seperti begitu dekat denganku, tapi juga asing dalam waktu bersamaan. Ohh, ya. Kini aku mengingatnya. Mengingatnya dengan begitu jelas. Wajah itu, adalah wajah yang aku lihat di foto berpigura yang ada di kamar seseorang yang sedang aku tunggu. Tawanya, adalah tawa yang sama dengan yang aku lihat di layar ponsel seseorang yang slalu ada dalam pikiranku. Perempuan itu, adalah tunangan dari lelaki yang kini sedang aku tunggu.
Hatiku kini benar-benar hancur. Sebegitu bodohnya kah aku, hingga dengan begitu sabar menanti seseorang yang di jari manisnya bahkan telah bersemat cincin perak. Sebegitu menyedihkannya kah aku, hingga mengharap perasaan yang sama dari seorang lelaki yang telah bertunangan.
Pertanyaan lain yang kini muncul dalam benakku adalah siapakah aku dalam hatinya?! Salahkah aku jika menyalah artikan segala kebaikannya padaku selama ini?! Salahkah aku mengartikan tatapan hangatnya padaku?! Berdosakah aku, hingga akhirnya perasaan itu tumbuh subur dalam hatiku, melahirkan harapan-harapan untuk bisa memilikinya dan hidup bahagia dengannya.
Aku mencintainya dan tak sanggup bila harus kehilangannya. Tapi aku juga tak sanggup jika harus berbahagia di atas luka dan air mata perempuan lain.
Oh Tuhan, kenapa Hidupku begitu menyedihkan. Akhir kisah cintaku yang begitu tragis, bahkan sebelum aku memulainya. Sebegitu menyedihkannya, hingga aku terbangun dari tidurku dengan pipi basah berlinang air mata.
Terimakasih Tuhan, semua itu hanyalah mimpi buruk dalam tidur panjangku malam ini.
Saturday, 19 December 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment