Pagi ini gerimis masih setia mengguyur, seperti hari-hari sebelumnya. Aku duduk dalam keheningan di tengah keramaian canda tawa dan kegelisahan mahasiswa-mahasiswa pejuang skripsi di lobi kampus. Selalu ada hal yang menarik dari setiap obrolan yang aku simak. Seperti pagi ini, misalnya.
Tiga orang perempuan berhijab, yang aku prediksi baru usai KKn. Mereka terlibat obrolan yang lebih didominasi oleh satu orang, sementara dua orang lain lebih banyak ber"ohh" dan beberapa kali menimpali. Sebut saja Tumini, si pembicara. Dengan logat medok yang kental, dia bercerita tentang ketakutannya pada opini orang lain tentang dirinya. Mulai dari rasa sebelnya pada ibu kost yang hobi komen tentang segala hal yang ia lakukan, hingga keluarga besarnya yang seolah tak bisa diam menahan hasrat untuk menceritakan sgala hal tentang dirinya.
Yaa, memang susah hidup di tengah masyarakat yang senang mengomentari orang lain. Baik buruknya hal yang kita lakukan, orang-orang akan tetap berkomentar. Kita hanya punya dua tangan, jadi tak akan cukup untuk menutup mulut semua orang. Tugas kita, cukup menutup kuping untuk segala apa yang tak ingin kita dengar.
Oh iya. Ketakutan akan komentar orang lain terhadap diri kita, ternyata ada istilahnya lhoo. Namanya Allodoxaphobia. Terdengar sedikit aneh, memang. Tapi nyatanya tak sedikit orang di sekitar kita yang memiliki phobia ini. Hanya saja, kebanyakam dari mereka lebih memilih diam, karena tak ingin dikomentarin orang lain.
Kalo buat aku sendiri, terserah orang mau berkomentar apa. Itu hak mereka. Kewajibanku hanya menjalani hidup yang singkat ini dengan sebaik mungkin, sebahagia mungkin. Karna kita memang tak terlahir untuk menyenangkan semua orang.
Sunday, 14 February 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment