Di suatu malam yang pekat, senyap, dan dingin perbincangan hangat bersama ibu lewat sambungan telefon membuat sepi sekejap hilang. Tak ada hal yang istimewa dalam perbincangan itu. Hanya perbincangan ringan seputar aktivitas sehari-hariku, pun ibu. Tapi, tiba-tiba ibu bertanya. ''Pernah nggak sih ngerasa nyesel ke Jepang? Nyesel ketemu orang-orang?''. Sejenak aku berusaha mencerna pertanyaan ibu. Kemudian berusaha menyusun kata-kata yang tepat agar ibu tak cemas memikirkanku di sini.
Seiring berjalannya waktu, aku bertemu orang-orang dengan berbagai ciri khasnya. Aku tak ingin menyebut itu sebagai karakter. Karna aku takut salah menilai, lantaran ketidakpandaian dalam mengenali sifat orang lain. Tentang pertanyaan ibu, aku berhasil menjawabnya. dengan perlahan aku memberikan penjelasan, berusaha tak memberikan nilai buruk tentang orang lain. Agar ibu tak perlu khawatir dengan keadaanku di sini. Meski aku tau, ibu memahamiku lebih dari siapapun di dunia ini, terlebih atas hal-hal yang tak kuungkapkan.
Ibu, terkadang kita harus merasakan sakit agar bisa mensyukuri bagaimana nikmatnya sehat. Terkadang, kita harus mencecap perihnya kehilangan agar bisa lebih menghargai apa yang kini masih dalam genggaman. Begitulah yang aku pahami setelah berada di sini. Setelah berbagai kejadian yang kualami. Setelah berbagai keadaan yang kulalui. Jika bukan karena mereka, anak ibu yang manja ini takkan pernah tau bahwa hidup penuh dengan perjuangan. Bagaimana pada akhirnya Nana yang penakut ini berusaha tetap tegar melawan ketakutannya berteman sepi dan sendiri. Hingga pada akhirnya, Nana yang tak pernah bisa mendongakkan kepalanya, kini bisa sedikit menampakkan dirinya. Nana yang kini tak bergantung pada siapapun di negeri antah berantah bernama Jepang. Jika bukan karena hantaman-hantaman di sini, mungkin aku nggak bakal lebih dekat sama ibu, lebih dekat dengan Tuhan. Berkat semua hal yang terjadi di sini juga, aku berusaha memperbaiki diri. Bagaimana berpikir, bersikap dan bertindak dengan tak hanya sekedar berpegang pada perasaan. Bahwa pada akhirnya, aku menjadi lebih realistis dalam menjalani hidup.
Apakah aku sakit hati? Apakah aku dendam? Sakit hati tentulah pernah kurasakan. Tapi aku nggak akan membawanya dengan berlarut-larut. Sementara dendam? Sama sekali nggak kupikirkan. Aku selalu meyakini bahwa Tuhan menempatkan kita pada suatu keadaan bukan tanpa tujuan. Aku selalu berusaha menerima semuanya dengan hati lapang. Berusaha tetap berprasangka baik, meski pada kenyataannya hal-hal yang terjadi justru menunjukkan yang sebaliknya. Aku tak ingin menghancurkan kebaikan dalam hati dan pikiranku yang susah payah ditanam oleh ibuku dengan rasa benci, amarah dan dendam. Aku hanya ingin menjadi baik. Menjadi pribadi yang lebih baik. Menjadi Nana yang lebih baik dari Nana yang sebelum ke Jepang. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan kebaikan, ingin memiliki usia, ilmu dan juga pengalaman yang bermanfaat bagi orang lain. Segala duka hanyalah proses pembelajaran yang pada akhirnya mendewasakanku dalam bersikap, berpikir dan bertindak.
Ibu, tak perlu khawatir lagi. Aku bisa menjaga diriku dengan baik. Melindungi pergaulanku dengan baik. Pun Mempertahankan dan menambah nilai-nilai kebaikan dalam diri seperti yang ibu selalu ajarkan padaku. Ibu, aku baik-baik saja. Dan akan selalu begitu. Sepanjang doa dan kasih ibu masih menyertaiku, tak ada yang benar-benar perlu dikhawatirkan.
0 comments:
Post a Comment