Pagi ini gerimis masih setia mengguyur, seperti hari-hari sebelumnya. Aku duduk dalam keheningan di tengah keramaian canda tawa dan kegelisahan mahasiswa-mahasiswa pejuang skripsi di lobi kampus. Selalu ada hal yang menarik dari setiap obrolan yang aku simak. Seperti pagi ini, misalnya.
Tiga orang perempuan berhijab, yang aku prediksi baru usai KKn. Mereka terlibat obrolan yang lebih didominasi oleh satu orang, sementara dua orang lain lebih banyak ber"ohh" dan beberapa kali menimpali. Sebut saja Tumini, si pembicara. Dengan logat medok yang kental, dia bercerita tentang ketakutannya pada opini orang lain tentang dirinya. Mulai dari rasa sebelnya pada ibu kost yang hobi komen tentang segala hal yang ia lakukan, hingga keluarga besarnya yang seolah tak bisa diam menahan hasrat untuk menceritakan sgala hal tentang dirinya.
Yaa, memang susah hidup di tengah masyarakat yang senang mengomentari orang lain. Baik buruknya hal yang kita lakukan, orang-orang akan tetap berkomentar. Kita hanya punya dua tangan, jadi tak akan cukup untuk menutup mulut semua orang. Tugas kita, cukup menutup kuping untuk segala apa yang tak ingin kita dengar.
Oh iya. Ketakutan akan komentar orang lain terhadap diri kita, ternyata ada istilahnya lhoo. Namanya Allodoxaphobia. Terdengar sedikit aneh, memang. Tapi nyatanya tak sedikit orang di sekitar kita yang memiliki phobia ini. Hanya saja, kebanyakam dari mereka lebih memilih diam, karena tak ingin dikomentarin orang lain.
Kalo buat aku sendiri, terserah orang mau berkomentar apa. Itu hak mereka. Kewajibanku hanya menjalani hidup yang singkat ini dengan sebaik mungkin, sebahagia mungkin. Karna kita memang tak terlahir untuk menyenangkan semua orang.
Sunday, 14 February 2016
Thursday, 4 February 2016
Asal kau bahagia
Saat kau membicarakannya, wajahmu begitu berseri. Lebih berseri dari sinar rembulan saat purnama. Pipimu memerah seperti udang rebus, dan matamu bersinar. Mungkin itu lebih dari cukup untuk membuatku paham, sedalam apa perasaanmu padanya. Meski tak kau jelaskan sekalipun. Aku paham.
Keputusan yang kau ambil, resiko yang akan datang, dan bagaimana pemikiran orang sekitar; adalah hal yang wajar terjadi dalam kehidupan sosial kita. Kita memang hidup di lingkungan dimana orang-orang begitu mudah menghakimi. Berpikir dan berucap semau mereka. Hingga kebenaran mencuat ke permukaan, mereka tersadar bahwa mereka keliru. Kemudian mereka melupakannya, tanpa menyadari ucapan yang mereka lontarkan menusuk dada.
Ingatlah satu hal, bahwa apapun yang kau putuskan, pastikanlah itu jalanmu menuju bahagia. Hidup ini terlalu singkat, untuk dihabiskan dengan orang yang salah; bukan. Maksudku dengan orang yang tak lagi membuatmu bahagia. Tak usah kau pikirkan omongan orang. Fokuskan saja hidupmu pada apa yang membuatmu bahagia. Bukan mereka yang berusaha menghancurkan bahagiamu. Resiko atas keputusan yang kau ambil, akan selalu mengikuti tiap proses kehidupan yang kau jalani. Resiko yang indah, maupun yang akan berhasil membuatmu sedikit gundah. Tapi tak apa. Tandanya hidupmu berjalan dengan baik. Jangan pernah sesali apapun yang terjadi. Meski itu bukan yang kau inginkan sekalipun. Tetaplah belajar, Tuhan ingin kau lebih bersabar, dan terus menjadi besar dari hal-hal yang membuatmu gusar.
Orang-orang akan terus datang silih berganti. Tapi keluarga dan sahabat akan terus menemani. Dalam susah ataupun senangmu. Doa terbaik mereka slalu untukmu, kebahagiaanmu.
Keputusan yang kau ambil, resiko yang akan datang, dan bagaimana pemikiran orang sekitar; adalah hal yang wajar terjadi dalam kehidupan sosial kita. Kita memang hidup di lingkungan dimana orang-orang begitu mudah menghakimi. Berpikir dan berucap semau mereka. Hingga kebenaran mencuat ke permukaan, mereka tersadar bahwa mereka keliru. Kemudian mereka melupakannya, tanpa menyadari ucapan yang mereka lontarkan menusuk dada.
Ingatlah satu hal, bahwa apapun yang kau putuskan, pastikanlah itu jalanmu menuju bahagia. Hidup ini terlalu singkat, untuk dihabiskan dengan orang yang salah; bukan. Maksudku dengan orang yang tak lagi membuatmu bahagia. Tak usah kau pikirkan omongan orang. Fokuskan saja hidupmu pada apa yang membuatmu bahagia. Bukan mereka yang berusaha menghancurkan bahagiamu. Resiko atas keputusan yang kau ambil, akan selalu mengikuti tiap proses kehidupan yang kau jalani. Resiko yang indah, maupun yang akan berhasil membuatmu sedikit gundah. Tapi tak apa. Tandanya hidupmu berjalan dengan baik. Jangan pernah sesali apapun yang terjadi. Meski itu bukan yang kau inginkan sekalipun. Tetaplah belajar, Tuhan ingin kau lebih bersabar, dan terus menjadi besar dari hal-hal yang membuatmu gusar.
Orang-orang akan terus datang silih berganti. Tapi keluarga dan sahabat akan terus menemani. Dalam susah ataupun senangmu. Doa terbaik mereka slalu untukmu, kebahagiaanmu.
Categories
Kopi Cinta,
Perihal Hati yang Patah,
Sebuah cerita
Monday, 1 February 2016
Sedikit lagi
Hujan terus saja turun tanpa henti. Langit penuh dengan awan hitam. Kelam kian jelas menghampiri, sementara wangi debu yang tandus bercampur air tak lagi menyapa. Aku mulai risau dengan harapan yang kian menjadi semu. Tak adakah secercah mentari yang menyembulkan senyum?! Mata ini mulai gersang.
kubuka kembali album yang telah lama ku acuhkan. Kenangan itu masih melekat dalam ingatan. Begitu jelas tergambar. Hari-hari dimana hanya air mata yang mampu menjelaskan segala luka dalam dada. Luka yang tak berdarah, namun begitu nyata terasa. Saat-saat buruk itu bahkan telah kulewati bertahun-tahun lalu. Tertinggal jauh di belakang.
Cinta yang lain telah tumbuh subur, di bagian dada yang lain. Seperti bunga-bunga yang mekar saat musim semi. Seperti rumput hijau di lapangan merah desa kelahiranku. Tapi sepetak kecil ruang yang lain, seperti terkungkung kaca. Air hujan bahkan tak pernah turun, walau hanya setetes. Aku mulai lelah mencoba menghancurkan kaca itu. Entah apa yang membuatnya begitu sulit untuk disingkirkan. Egokukah yang membuatnya begitu kokoh. Ketidakpeduliankukah yang mengeratkan akarnya.
Kupikir waktu akan segera menyembuhkanku dari segalanya. Aku pikir semuanya akan berlalu seperti embun yang hilang saat bertemu sang surya. Barangkali, aku hanya butuh sedikit lagi waktu untuk terbiasa. Yaa, sedikit lagi waktu.
kubuka kembali album yang telah lama ku acuhkan. Kenangan itu masih melekat dalam ingatan. Begitu jelas tergambar. Hari-hari dimana hanya air mata yang mampu menjelaskan segala luka dalam dada. Luka yang tak berdarah, namun begitu nyata terasa. Saat-saat buruk itu bahkan telah kulewati bertahun-tahun lalu. Tertinggal jauh di belakang.
Cinta yang lain telah tumbuh subur, di bagian dada yang lain. Seperti bunga-bunga yang mekar saat musim semi. Seperti rumput hijau di lapangan merah desa kelahiranku. Tapi sepetak kecil ruang yang lain, seperti terkungkung kaca. Air hujan bahkan tak pernah turun, walau hanya setetes. Aku mulai lelah mencoba menghancurkan kaca itu. Entah apa yang membuatnya begitu sulit untuk disingkirkan. Egokukah yang membuatnya begitu kokoh. Ketidakpeduliankukah yang mengeratkan akarnya.
Kupikir waktu akan segera menyembuhkanku dari segalanya. Aku pikir semuanya akan berlalu seperti embun yang hilang saat bertemu sang surya. Barangkali, aku hanya butuh sedikit lagi waktu untuk terbiasa. Yaa, sedikit lagi waktu.
Categories
Kopi Cinta,
Perihal Hati yang Patah,
Sebuah cerita
Subscribe to:
Posts (Atom)